UTAMA | | POJOK ARIE |

15 Januari 2008

Pemimpin yang Jujur, Panacea Masalah Bangsa
Karim Suryadi
Lembaga Riset Informasi, Jakarta

Rentetan masalah yang mendera bangsa makin menyadarkan rakyat Indonesia tentang perlunya kehadiran sosok pemimpin yang negarawan. Sosok pemimpin yang tidak biasa karena dibekali penguasaan pengetahuan teoretis dan praktis tentang bidang yang menjadi kewenangannya.

Jauh dari sekedar berwacana, pemimpin yang negarawan mampu mengambil langkah nyata karena ia memiliki keterampilan politik praktis (seperti kamampuan mempersuasi dan keahlian retorika), serta berkarakter kuat. Meski menyadari di mana ia berdiri, pemimpin yang negarawan tidak akan terjebak oleh kekinian dan terjerat kepentingan jangka pendek.

Ibarat terapist, seorang negarawan bukan hanya memiliki pengetahuan tentang hakikat masalah dan solusi terbaik untuk menyelesaikannya, tetapi secara jitu mampu melakukan tindakan penyelesaian secara tuntas. Ibarat seorang terapist, pemimpin yang negarawan pun mampu membedakan pengobatan yang menyembuhkan dari tindakan medis yang mempercepat kematian.

Sebagai hasil konstruksi budaya, karakter yang dilekatkan kepada figur negarawan ditentukan oleh pandangan dunia (world view) para pengikutnya. Ke dalamnya termasuk tata nilai yang tumbuh dan melatari kehidupan sosial para warganya.

Bagi masyarakat Indonesia, kejujuran dinilai sebagai karakter terpenting pemimpin nasional melebihi kecerdasan, wawasan luas, bahkan kemampuan menjadi inspirator bagi bangsa karena beragam persoalan diyakini muncul akibat salah urus, bahkan manipulasi yang menyuburkan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Pemimpin yang jujur terhadap kekurangan dirinya, lebih disukai ketimbang tokoh yang cerdas namun bermoral buruk. Tanpa kejujuran kecerdasan bisa digunakan untuk membodohi rakyat.

Survey yang dilakukan johanspolling terhadap 1600 responden yang dijaring secara multistage cluster sampling dari populasi penduduk Indonesia yang telah berusia 15 tahun pada minggu ketiga Desember 2007 mengungkapkan preferensi masyarakat tentang karakter pemimpin nasional. Dalam pandangan responden, karakter pemimpin nasional yang dikehendaki berturut-turut mengutamakan kejujuran dalam mencapai tujuan bangsa, memiliki kecerdasan, berwawasan luas dan memiliki pandangan jauh ke depan, menjadi inspirator bagi bangsa, tegas dan cermat dalam mengambil keputusan, kemampuan menjaga harkat dan martabat bangsa, motivator yang handal, dan mampu membangkitkan daya juang rakyat.


Kejujuran dipandang sebagai panacea beragam persoalan yang menghimpit bangsa. Namun jujur saja tidak cukup, pemimpin nasional diharapkan memiliki kecerdasan, wawasan luas, dan pandangan jauh ke depan yang memberinya kemampuan membedakan sesuatu yang mungkin dari sekedar perjudian politik belaka. Dalam khasanah politik, karakter inilah yang disebut prudence (atau phronesis dalam terminologi Aristoteles).

Hasil survei johanspolling minggu ketiga Desember 2007 mengungkapkan sebagian besar masyarakat masih melekatkan cap negarawan kepada Presiden RI pertama, Soekarno. Mayoritas responden menilai bagus dalam semua karakter yang dinisbatkan sebagai kenegarawanan.

Dalam pandangan responden, tidak ada penerus yang melampaui derajat kenegarawanan Soekarno. Kendati demikian, sebagian responden mencatat beberapa karakater menonjol dalam figur tertentu. Susilo Bambang Yudhoyono dinilai oleh sebagian besar responden menonjol dalam hal kejujurannya, kecerdasannya, berwawasan luas dan berpandangan jauh ke depan, serta menjaga harkat dan martabat bangsa. Habibie dikesani menonjol dalam hal kecerdasan dan keluasan wawasannya. Sementara Soeharto terpatri dalam memori publik sebagai pemimpinan nasional yang tegas dan cermat dalam mengambil keputusan.

Preferensi masyarakat tentang karakter pemimpin nasional yang negarawan konsisten dengan kebutuhan untuk mengukuhkan landasan moral kepemimpinan nasional. Agama sebagai muara dari segala kebajikan dipandang sebagai kriteria penting dalam memilih pemimpin yang jujur. Kebutuhan untuk mengukuhkan landasan moral kepemimpinan nasional tersirat dari melemahnya pandangan dikotomis yang selama ini menjadi nucleus budaya politik Indonesia. Hal ini terungkap dalam bagian lain data yang dihimpun johanpolling. Segregasi pemimpin yang berusia tua versus muda, berlatar belakang sipil atau militer, berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, dan pandangan dikotomis tentang asal-usul pemimpin yang berasal dari Jawa versus luar Jawa tidak sepenting latar belakang Islam-non Islam.


Selain menunjukkan tetap pentingnya menjadikan agama sebagai fundamental nilai-nilai kepemimpinan nasional, data ini mengisyaratkan bahwa koeksidensi antara politik dan agama masih akan tetap mewarnai praksis politik Indonesia dalam lima atau sepuluh tahun ke depan.

Kemunculan partai politik yang mengusung ideologi, atau sekedar simbol-simbol agama masih akan meramaikan wacana politik Indonesia. Namun karena tidak semua responden menganggap penting dikotomi Islam-non Islam dalam memilih pemimpin nasional, perdebatan tentang Islam politik pun diyakini masih akan mewarnai wacana politik Indonesia dalam satu dua dekade ke depan.

Lebih dari itu, dalam Pemilu 2009 publik (sekali lagi) dituntut kedewasaanya dalam menyikapi manipulasi simbol agama untuk kepentingan politik. Alih-alih menghadirkan substansi nilai-nilai keagamaan, kecenderungan manipulasi penampilan simbolik akan tetap dominan sebab seorang politisi lebih sering dinilai dari bagaimana cara mereka tampak, dan bukan dari apa yang sesungguhnya mereka lakukan.

Kemenonjolan tokoh yang dinisbatkan sebagai ikon partai pun masih akan terjadi. Selain belum terlembagakannya budaya komunikasi yang egaliter, penokohan akan sulit dihapuskan dalam waktu dekat sebab para pemilih bukan pembaca visi, misi dan program. Loyalitas yang terbangun tidak didasarkan atas pertimbangan yang rasional kalkulatif atas kredibilitas seorang tokoh, melainkan transformasi loyalitas primordial. (KS)

Tidak ada komentar: