Oleh: Dewi Adhitya S Koesno
Redaktur The Indonesia Now
Mantan penguasa orde baru Soeharto, kini lemah tak berdaya di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta sejak 4 Januari 2008 lalu, hampir seluruh organ tubuhnya tidak berfungsi lagi.
Komentar dari berbagai kalangan terus berdatangan, pro dan kontra seputar kondisi sakitnya Soeharto hingga sekarang masih saja hangat diperbincangkan. Pengampunan untuk Soeharto masih menjadi pertanyaan pantas atau tidak kasusnya di-deponering (penghentian penuntutan perkara pidana dikarenakan hal-hal tertentu yang oleh undang-undang-red).
Soal pengampunan Soeharto, Jaksa Agung Herdarman Supanji mengatakan hal tersebut merupakan wewenang Presiden. Untuk kasus mantan penguasa Orde Baru ini pengampunan tidak pas. Sebab, pengampunan merupakan proses dalam masalah politik serta hanya bisa diberikan melalui grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. "Mau diminta-minta, diubah dulu dong undang-undangnya. Mau pakai terobosan? Hukum kok diterobos-terobos. Tidak bisa."
Senada dengan Jaksa Agung, Ketua PP Muhammadiyah Chaidir Nasir juga tidak menyetujui deponering kasus Pak harto, "Penyelesaian kasus (deponering) bukan langkah yang tepat," katanya di Jakarta (13/1).
Menurut Chaidir, kesalahan yang dilakukan Soeharto merupakan bentuk dari filosofi kemanusian, yaitu lamanya kepemimpinan. Akibatnya ada celah-celah yang dimanfaatkan orang lain untuk kepentingan pribadi dibalik kekuasaan Soeharto.
Atas dasar TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, disebutkan dalam Pasal 4 (Empat) bahwa Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Untuk itulah beberapa kalangan menilai kasus Soeharto tak pantas untuk di-deponering. Meski memaafkan, namun proses hukum haruslah tetap dijalankan.
Banyak yang menghujat, namun banyak juga yang mendoakan. “Setiap orang kan juga pasti pernah punya salah, alangkah baiknya jika kita dapat memaafkan,” kata Quraish Shihab waktu menjenguk Soeharto di RSPP. Pernyataan Soeharto agar masyarakat memaafkan Soeharto juga diminta oleh kalangan pejabat serta sahabat yang menjenguk mantan penguasa Orde baru tersebut. “Marilah kita mendoakan Pak Harto supaya sembuh atau kalau pun tidak, semoga Khusnul Khotimah, biar bagaimanapun jasa beliau juga banyak terhadap bangsa ini” ujar Ketua DPP PAN Soetrisno Bachir.
Salah satu Putri Soeharto pernah berkata dengan lirih kepada para wartawan yang mewawancarainya “Bapak itu tidak pernah minta untuk jadi ‘Bapak Pembangunan’ tapi dia yang dipilih sendiri oleh masyarakat,” kata Siti Hediyati atau akrab disapa Titik Suharto.
Yang jadi pertanyaan sekarang kenapa saat Soeharto sedang sakit dan kondisi kritis orang-orang lebih tertarik mempermasahkan kasusnya, kok di saat sehat justru orang seakan melupakan masalah Pak Harto.
Komentar dari berbagai kalangan terus berdatangan, pro dan kontra seputar kondisi sakitnya Soeharto hingga sekarang masih saja hangat diperbincangkan. Pengampunan untuk Soeharto masih menjadi pertanyaan pantas atau tidak kasusnya di-deponering (penghentian penuntutan perkara pidana dikarenakan hal-hal tertentu yang oleh undang-undang-red).
Soal pengampunan Soeharto, Jaksa Agung Herdarman Supanji mengatakan hal tersebut merupakan wewenang Presiden. Untuk kasus mantan penguasa Orde Baru ini pengampunan tidak pas. Sebab, pengampunan merupakan proses dalam masalah politik serta hanya bisa diberikan melalui grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. "Mau diminta-minta, diubah dulu dong undang-undangnya. Mau pakai terobosan? Hukum kok diterobos-terobos. Tidak bisa."
Senada dengan Jaksa Agung, Ketua PP Muhammadiyah Chaidir Nasir juga tidak menyetujui deponering kasus Pak harto, "Penyelesaian kasus (deponering) bukan langkah yang tepat," katanya di Jakarta (13/1).
Menurut Chaidir, kesalahan yang dilakukan Soeharto merupakan bentuk dari filosofi kemanusian, yaitu lamanya kepemimpinan. Akibatnya ada celah-celah yang dimanfaatkan orang lain untuk kepentingan pribadi dibalik kekuasaan Soeharto.
Atas dasar TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, disebutkan dalam Pasal 4 (Empat) bahwa Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Untuk itulah beberapa kalangan menilai kasus Soeharto tak pantas untuk di-deponering. Meski memaafkan, namun proses hukum haruslah tetap dijalankan.
Banyak yang menghujat, namun banyak juga yang mendoakan. “Setiap orang kan juga pasti pernah punya salah, alangkah baiknya jika kita dapat memaafkan,” kata Quraish Shihab waktu menjenguk Soeharto di RSPP. Pernyataan Soeharto agar masyarakat memaafkan Soeharto juga diminta oleh kalangan pejabat serta sahabat yang menjenguk mantan penguasa Orde baru tersebut. “Marilah kita mendoakan Pak Harto supaya sembuh atau kalau pun tidak, semoga Khusnul Khotimah, biar bagaimanapun jasa beliau juga banyak terhadap bangsa ini” ujar Ketua DPP PAN Soetrisno Bachir.
Salah satu Putri Soeharto pernah berkata dengan lirih kepada para wartawan yang mewawancarainya “Bapak itu tidak pernah minta untuk jadi ‘Bapak Pembangunan’ tapi dia yang dipilih sendiri oleh masyarakat,” kata Siti Hediyati atau akrab disapa Titik Suharto.
Yang jadi pertanyaan sekarang kenapa saat Soeharto sedang sakit dan kondisi kritis orang-orang lebih tertarik mempermasahkan kasusnya, kok di saat sehat justru orang seakan melupakan masalah Pak Harto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar