Meski pertarungan yang sebenarnya baru akan berlangsung tahun depan, tapi kandidat-kandidat yang telah mendeklarasikan dirinya untuk melaju menjadi calon Presiden pada Pilpres 2009 terlihat antusias ‘berkampanye’ walau dalam bentuk yang berbeda. Secara sadar, sebenarnya para kandidat ini sudah mulai pasang kuda-kuda menggelontorkan misi, visi dan program bagaimana membangun dan merancang negeri yang bernama Indonesia ini, untuk mampu dan dapat bersaing dengan negara lain dalam hal kemajuan. Terutama pada semua bidang kehidupan. Selain itu, penunjukkan diri secara personal bahkan kritik yang dibangun terhadap pemerintah yang berkuasa saat ini adalah bagian penting dan jadi menu utama untuk disampaikan. Tata cara mereka memang berbeda dalam melemparkan pendapat dan penilaian. Namun, pada intinya adalah bagaimana menunjukkan ‘eksistensi’ untuk dapat dinilai secara positif. Sehingga pesan yang disampaikan mendapat respon dan pengakuan sedapat mungkin diraih.
Kemarin, di grand ballroom Four Season Hotel Jakarta, Pertunjukan itu terlihat dalam pementasan dan warna yang berbeda. Cukup menarik, karena pertunjukan tersebut dikemas dalam sebuah peluncuran majalah terbaru dengan menghadirkan figur-figur yang pastinya cukup dikenal di negeri ini. Sutiyoso adalah salah- satunya. Kelahiran Semarang 6 Desember 1944, pensiunan Jenderal bintang tiga dan mantan Gubernur DKI ini didaulat untuk menyampaikan pidato politik. Jika dicermati, sulit ‘menafsirkan’ lebih dalam maksud dari penggagas acara mengapa mantan orang nomor satu di DKI yang fenomenal dengan proyek ‘Busway’ nya ini diminta berpidato. Yang pasti, sejak tanggal 1 Oktober 2007 saat dirinya mencalonkan diri jadi Presiden, Sutiyoso semakin terlihat famous dan menjadi incaran mereka-mereka yang mau ‘bersekutu’ secara politik.
Dengan stelan jas hitam, pria yang selalu yakin pada sebuah keputusan yang diambil meski tidak harus populer ini menyatakan bahwa masyarakat saat ini sudah semakin kritis. Dan, kini sudah memotret dan melihat-lihat siapa yang bakal memimpin negeri ini ke depan. ”Reformasi telah merubah prilaku masyarakat. Terkadang banyak menuntut, tapi mengabaikan kewajiban. Menghina kepala negara sudah tidak mengenal tempat dan ukuran,” ujar Sutiyoso. Krisis dimensional yang dihadapi negeri ini, angka-angka kemiskinan, pendidikan sebagai investasi masa depan dan kesehatan adalah janji manis Sutiyoso yang harus segera dibenahi. “Semua Presiden sudah bekerja dengan baik tetapi tidak jeli menentukan prioritas,” kritik Sutiyoso dengan penuh percaya diri.
Perhelatan yang dipandu oleh Dedi Gumelar alias Mi’ing sore itu, semakin terasa panas saja manakala Sutiyoso mencurahkan semua unek-uneknya yang berkaitan dengan pemerintahan. Terlebih soal keberadaan militer yang dimatanya begitu lemah. Dimulai dari sistem perlengkapan dan persenjataan yang sudah usang dan tak layak pakai. Hingga soal pertikaian antara Polisi dan TNI yang menurutnya, terletak pada pelimpahan tugas antara keduanya sudah tidak berimbang. “Sekarang itu pengangguran di tingkat TNI terjadi, sedangkan Polisi panen kerja. Banyak kerja, berarti banyak duit,” terang Sutiyoso yang langsung mengundang tawa para undangan. Ironis memang jika seorang Sutiyoso menyatakan hal ini manakala dirinya sudah tidak menjabat lagi sebagai seorang perwira tinggi aktif. Bukankah, ia juga dibesarkan dalam lingkungan militer?.
Menyaksikan Jenderal bintang tiga ini memberi kritikan, saya jadi mafhum dengan pertunjukkan sore itu. Misi politik sangat kental terasa, meski dalam balutan sebuah peluncuran majalah. Itu bukan masalah, karena pada intinya esensi dari perhelatan tersebut bagaimana bisa memunculkan ‘figur-figur’ dengan kapasitas yang teruji itu yang harus dicermati. Tentu kita tidak ingin terjebak pada janji-janji dan skenario yang diciptakan, tanpa hasil yang maksimal buat kepentingan negeri ini dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. (Subhan)
Kemarin, di grand ballroom Four Season Hotel Jakarta, Pertunjukan itu terlihat dalam pementasan dan warna yang berbeda. Cukup menarik, karena pertunjukan tersebut dikemas dalam sebuah peluncuran majalah terbaru dengan menghadirkan figur-figur yang pastinya cukup dikenal di negeri ini. Sutiyoso adalah salah- satunya. Kelahiran Semarang 6 Desember 1944, pensiunan Jenderal bintang tiga dan mantan Gubernur DKI ini didaulat untuk menyampaikan pidato politik. Jika dicermati, sulit ‘menafsirkan’ lebih dalam maksud dari penggagas acara mengapa mantan orang nomor satu di DKI yang fenomenal dengan proyek ‘Busway’ nya ini diminta berpidato. Yang pasti, sejak tanggal 1 Oktober 2007 saat dirinya mencalonkan diri jadi Presiden, Sutiyoso semakin terlihat famous dan menjadi incaran mereka-mereka yang mau ‘bersekutu’ secara politik.
Dengan stelan jas hitam, pria yang selalu yakin pada sebuah keputusan yang diambil meski tidak harus populer ini menyatakan bahwa masyarakat saat ini sudah semakin kritis. Dan, kini sudah memotret dan melihat-lihat siapa yang bakal memimpin negeri ini ke depan. ”Reformasi telah merubah prilaku masyarakat. Terkadang banyak menuntut, tapi mengabaikan kewajiban. Menghina kepala negara sudah tidak mengenal tempat dan ukuran,” ujar Sutiyoso. Krisis dimensional yang dihadapi negeri ini, angka-angka kemiskinan, pendidikan sebagai investasi masa depan dan kesehatan adalah janji manis Sutiyoso yang harus segera dibenahi. “Semua Presiden sudah bekerja dengan baik tetapi tidak jeli menentukan prioritas,” kritik Sutiyoso dengan penuh percaya diri.
Perhelatan yang dipandu oleh Dedi Gumelar alias Mi’ing sore itu, semakin terasa panas saja manakala Sutiyoso mencurahkan semua unek-uneknya yang berkaitan dengan pemerintahan. Terlebih soal keberadaan militer yang dimatanya begitu lemah. Dimulai dari sistem perlengkapan dan persenjataan yang sudah usang dan tak layak pakai. Hingga soal pertikaian antara Polisi dan TNI yang menurutnya, terletak pada pelimpahan tugas antara keduanya sudah tidak berimbang. “Sekarang itu pengangguran di tingkat TNI terjadi, sedangkan Polisi panen kerja. Banyak kerja, berarti banyak duit,” terang Sutiyoso yang langsung mengundang tawa para undangan. Ironis memang jika seorang Sutiyoso menyatakan hal ini manakala dirinya sudah tidak menjabat lagi sebagai seorang perwira tinggi aktif. Bukankah, ia juga dibesarkan dalam lingkungan militer?.
Menyaksikan Jenderal bintang tiga ini memberi kritikan, saya jadi mafhum dengan pertunjukkan sore itu. Misi politik sangat kental terasa, meski dalam balutan sebuah peluncuran majalah. Itu bukan masalah, karena pada intinya esensi dari perhelatan tersebut bagaimana bisa memunculkan ‘figur-figur’ dengan kapasitas yang teruji itu yang harus dicermati. Tentu kita tidak ingin terjebak pada janji-janji dan skenario yang diciptakan, tanpa hasil yang maksimal buat kepentingan negeri ini dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. (Subhan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar