UTAMA | | POJOK ARIE |

13 Februari 2008

Perkembangan Kredit Bantuan Bank Indonesia dari Waktu ke Waktu

Krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 membuat nilai rupiah merosot tajam seiring dengan larinya modal ke luar negeri akibat runtuhnya kepercayaan para investor. Masyarakat panik dan dunia usaha terpuruk. Saat itu muncullah Program Rekapitulasi dan Restrukturisasi Perbankan yang melahirkan beberapa kebijakan yang dikeluarkan sejak pemerintahan Soeharto dan dampaknya masih dirasakan hingga sekarang.

Masa Pemerintahan Soeharto
Untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, Pemerintah ditekan untuk menandatangani kerjasama dengan IMF yang tertuang dalam Letter Of Intent (LoI). Namun kebijakan ini tidak berhasil dan semakin memburuk dengan keputusan menutup 16 bank. Kelangkaan likuiditas terjadi sangat parah, kemudian pemerintah memberikan jaminan penuh (blanket Guarantee) terhadap seluruh simpanan masyarakat di Bank. Selain itu, pada 1998 pemerintah membentuk Badan penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menyehatkan dunia perbankan, mengembalikan dana negara dan mengelola aset-aset yang diambil alih pemerintah.

Masa Pemerintahan Habibie
Setelah masa pemerintah Soeharto berakhir, pemerintahan selanjutnya mewarisi kondisi ekonomi yang sangat buruk, bank-bank mengalami krisis likuiditas yang semakin parah. Untuk mengembalikan fungsi perbankan, pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan kebijakan rekapitalisasi bagi bank sebesar Rp 281, 83 triliun.

Pada masa itu, UU Bank Indonesia (BI) diubah jadi UU no.32/1999 sehingga BI tidak diperbolehkan memberikan kredit program dan seluruh Kredit Likuiditas BI sebesar Rp 9.97 triliun menjadi Surat Utang Negara (SUN). Tindakan pemerintah dalam menghadapi krisis perbankan dilakukan dalam bentuk perjanjian penyelesaian kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang terdiri dari MSAA (Master Settlement And Aquistion Agreement), MRNIA (Master Refinancing and Aquistion Agreement) dan APU (Akta Pengakuan Utang).

Perjanjian MSAA ditandatangani oleh lima obligor yaitu Anthony Salim (Rp 52,7 triliun), Sjamsul Nursalim (Rp 28,4 triliun), M. Hasan (Rp 6,2 triliun), Sudwikatmono (Rp 1,9 triliun) dan Ibrahim Risyad (Rp 664,1 milyar). Sementara perjanjian MRNIA ditantangani oleh empat obligor yaitu Usman Admadjaja (Rp.12,5 triliun), Kaharudin Ongko (Rp 8,3 triliun), Samadikun Hartono (Rp 2,7 triliun) dan Ho Kiarto/Ho Kianto (Rp 297,6 miliar). Total program PKPS MRNIA adalah sebesar Rp.23.8 triliun). Pada periode pemerintahan Habibie, 65 Bank Dalam penyehatan (BDP) dikelola oleh BPPN, dimana 10 diantaranya adalah Bank Operasi Beku Operasi (BBO), 42 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan 13 Bank Take Over (BTO).

Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid
Rekapitalisasi dilakukan terhadap bank Niaga dan bank Danamon yang mencakup biaya sebesar Rp 55,05 triliun. Selain itu, pemerintah membentuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan dengan Keppres 177/1999 yang memberikan pedoman kebijakan bagi BPPN.

Perjanjian PKPS pada periode ini dilakukan dengan penandatanganan APU oleh 30 obligor dengan nilai JKPS setelah reformulasi sebesar Rp 15,2 triliun. Pada tahun 2000 disahkan UU No. 25/2000 tentang Propenas yang memberikan landasan kebijakan untuk memberikan insentif kepada para obligor yang kooperatif dan pemberian penalti kepada obligor yang tidak kooperatif.

Masa Pemerintahan Megawati
TAP MPR X/2001 dan TAP MPR VI/2002 yang mengamanatkan pelaksanaan kenaikan MSAA dan MRNIA secara konsisten sesuai dengan UU Propenas. Selanjutnya Megawati mengeluarkan Inpres no.8/2002 yang memberikan jaminan hukum kepada obligor yang kooperatif dan sanksi kepada yang tidak kooperatif. Berdasarkan Inpres ini dikeluarkan Surat keterangan Lunas (SKL) yang berisi release and discharge kepada lima obligor MSAA tapi dalam kenyataannya tidak ada satupun obligor yang mengembalikan 100 persen dari kewajibannya. SKL ini juga diberikan kepada 17 obligor PKPS APU.

Dengan pengembalian aset tersebut maka pemerintah harus menanggung beban sebesar Rp 57,8 triliun. Angka ini adalah selisih SUN yang diterbitkan oleh pemerintah dibandingkan dengan tingkat pengembalian yang diterima oleh pemerintah secara tunai. Hal ini dengan sendirinya merupakan beban yang harus ditanggung APBN. Pemerintahan Megawati dan DPR melakukan reprofiling (memperpanjang jatuh tempo SUN-red) dan restrukturisasi SUN BLBI untuk meringankan beban APBN.

Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Pada tahun 2004 pemerintahan SBY menutup BPPN dan total penyehatan perbankan selama 1997-2004 Rp 640,9 triliun yang dibagi untuk program BLBI Rp 144.5 triliun, program penjaminan Rp 53,8 triliun, Penjaminan Rp 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun dan program rekapitalisasi Rp 422,6 triliun.

Pemerintah melalui PT. Perusahaan Pengelola Aset (PPA) mengelola aset-aset eks BPPN untuk mengoptimalkan tingkat pengembalian dengan penjualan aset PT PPA secara transparan, bersih dan akuntabel. Pemerintah juga melakukan penyelesaian kewajiban delapan obligor yaitu Adisaputra Januardi/Janes Januardi, Atang Latief, Ulung Bursa, Omar Putihrai, Lidia Muchtar, Marimutu Sinivasan dan Agus Anwar. Mereka telah menandatangani APU tapi belum menyelesaikan kewajibannya.

Saat ini telah dilakukan pemanggilan, pemblokiran aset yang menjadi piutang, pencegahan ke luar negeri dan eksekusi aset. Pemerintah terus menagih agar mereka memenuhi kewajibannya. Demikian pula terhadap para obligor lain baik yang kooperatif namun tidak/belum memenuhi sisa kewajibannya (seperti Trijono Gondokusumo dengan kewajiban Rp 2,9 triliun, Henky Widjaja Rp 450 milyar, Santoso Sumali Rp 286 milyar serta Baringin P dan Joseps Januardi Rp 152 milyar maupun yang tidak kooperratif sedang dan akan terus dilakukan penagihan oleh pemerintah sekarang. (Nurseffi Dwi Wahyuni)

Tidak ada komentar: