UTAMA | | POJOK ARIE |

12 Januari 2008

HUBUNGAN “BENCI TAPI RINDU” UMKM - PERBANKAN



Oleh: Anis Adinizam
Redaktur The Indonesia Now


Meskipun akhir tahun ini sektor riil sudah mulai menggeliat, tapi masalah pengangguran dan kemiskinan selalu jadi sandungan untuk kinerja pemerintahan saat ini. Pengangguran dan kemiskinan hanya dapat diatasi dengan cara menciptakan lapangan kerja dan memperluas kesempatan sektor usaha kecil-mikro dan menengah (UMKM). Maka wajar jika sektor UMKM harus ‘dibela’ dan distimulasi pertumbuhannya.

Susahnya, ruang gerak UMKM di Indonesia malah kian sempit. Pertama karena memperoleh kredit usaha dari perbankan buat UMKM ternyata tidak semudah yang di gembar-gemborkan. Kedua, pemerintah cenderung membiarkan ‘pemangsaan sempurna’ Pasar Tradisional --yang sebagian besar termasuk ukuran UMKM-- oleh Pasar Modern yang merupakan pemain dengan kapital besar.

Instruksi Presiden (Inpres) No.6 Tahun 2007 menekankan pada empat aspek pokok yaitu peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan, pengembangan kewirausahaan dan SDM, peningkatan peluang pasar dan reformasi peraturan untuk memberdayakan sektor UMKM.

Tenyata, porsi penyaluran kredit UMKM tahun 2007 menurun dari 99,5% menjadi 99,3% “Perbankan mulai melirik sektor usaha berat . Padahal sektor UKM seharusnya lebih diperhatikan karena sektor tersebut menyerap 96,1% dari jumlah tenaga kerja yang ada, sementara sektor usaha berat hanya menyerap 3,8-3,9 %” kata Ekonom Ichsanoodin Noorsy

Selama ini UMKM selalu berkeluh kesah sulitnya mendapat kucuran kredit, karena selain bunganya yang relative tinggi juga sulitnya persyaratan yang diterapkan dengan dalih faktor kehati-hatian perbankan (prudential banking). Sementara, perbankan membela diri dengan menuding UKM tidak memiliki kesungguhan dan daya juang untuk memenuhi segala persyaratan perbankan.

Ternyata, jumlah dana yang parkir di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) makin membludak. Pada 2007 tercatat dana SBI mencapai Rp 330 triliun dan diperkirakan akan terus melonjak. Fenomena ini makin memperkuat dugaan bahwa sebagian dana perbankan yang seharusnya dikucurkan menjadi kredit sektor rill justru diparkirkan di SBI.

Argumennya bisa saja, pertama, SBI adalah instrumen investasi yang relatif aman dan tentu saja menguntungkan buat perbankan atau kedua, sektor rill khususnya UMKM, tidak mampu menyerap kredit yang ditawarkan perbankan

Tapi, jika melihat posisi suku bunga SBI yang dipatok rata-rata 8 persen maka argumen pertamalah yang cenderung pas. “Harusnya bunga SBI maksimal 5 persen. Dengan begitu, perbankan akan mengucurkan kredit ke sektor riil, karena dengan menyimpan di SBI bunganya menjadi tidak menarik” saran Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta beberapa waktu lalu.

Disi lain, UMKM juga harus berbenah diri. Meningkatkan kualitas manajemen dan administrasinya, supaya setiap usulan pemohonan kredit yang diajukannya menjadi eligible dan bankable. Upaya pemberdayaan ini sudah diprakarsai oleh Pakar Ekonomi Prof. Mubyarto yang mengusulkan kehadiran lembaga Konsultan Keuangan Mitra Ekonomi Rakyat (KKMER ) untuk membantu pelaku ekonomi rakyat kita dalam memberikan usulan kredit sekaligus pemanfaatan, dan pengembaliannya, sejak 2004 lalu.

Yang pasti hubungan tidak harmonis antara UMKM dengan perbankan bukanlah hubungan yang ideal. Perbankan akan menghadapi kesulitan jika tak mampu menggulirkan dananya sesuai target yang diharapkan. Toh, bank juga harus memenuhi kewajiban membayar bunga kepada nasabah atau pihak ketiga lainnya. Di lain pihak, peranan perbankan selalu dibutuhkan oleh UMKM, karena untuk memperbesar kapasitas usahanya UKM tentu tidak bisa hanya mengandalkan modalnya sendiri.

UMKM dan perbankan….benci tapi rindu.

Tidak ada komentar: