Redaktur The Indonesia Now
Kerikil-kerikil tajam selalu menghiasi hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia yang terjalin sejak puluhan tahun lalu. Mulai dari masalah perebutan pulau Sipadan, Ligitan dan blok Ambalat. Pengklaiman lagu rasa sayange, batik dan reog ponorogo serta kasus illegal logging yang dilakukan para cukong kayu Malaysia menambah daftar panjang pasang surutnya hubungan Indonesia dan Malaysia.
Sampai sekarang banyak masalah kedua negara yang belum terselesaikan dan bahkan hanya diendapkan. Misalnya masalah ketenagakerjaan. Sebuah organisasi peduli buruh migran, Migran Care mencatat sepanjang tahun 2007 Malaysia tercatat sebagai negara dengan kasus kematian buruh migran terbanyak asal Indonesia dengan jumlah 71 kematian atau 35 persen dari total 206 kematian buruh migran.
Selain itu Malaysia juga menjadi negara yang mengancam warga negara Indonesia dengan hukuman mati yakni 297 orang dan delapan orang diantaranya sudah dijatuhi vonis di Malaysia.
Menurut data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), jumlah tenaga kerja yang tersangkut perkara di Malaysia mencapai 1.1 juta orang dan perkara yang terdaftar menyangkut 800.000 orang.
Kasus-kasus kekerasan yang dialami tenaga kerja Indonesia (TKI), sebagian masih belum menemukan titik terang dalam proses hukumnya. Seperti kasus Nirmala Bonat, yang sudah dimulai sejak tahun 2004 dan masih belum rampung sampai sekarang.
Selain Nirmala, masih ada sederetan nama lain seperti, Ceriyati, Elena, Sanih Nur Wanih, Yudista Purwaningtyas, Darmilah, Dede Rosliyah, Parwati, Meriana Bulu, Suriani, Lilis Warsak, Kurniasih, Parsiti, YArsi dan Siswati yang dengan berbagai alas an berbeda hingga saat ini kasus-kasus mereka belum juga terselesaikan secara hukum.
Lobi-lobi yang dilakukan pemerintah untuk menangani masalah TKI masih belum optimal. Jika dibandingkan dengan negara lain, dalam masalah perlindungan TKI bisa dibilang kurang berani jika dibandingkan dengan Filipina. Pada kasus Sarah Balabagan di Uni Emirat Arab (UEA) beberapa tahun lalu, presiden Ramos langsung terbang ke Abu Dahabi dan melobi raja UEA.
Sebenarnya pemerintah tidak hanya berpangku tangan dalam masalah TKI ini. Selain melakukan berbagai lobi dan perjanjian, untuk pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) buruh migran Indonesia, pemerintah mendirikan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (BNP2TKI) walaupun ratusan masalah masih terus terjadi.
Pada peringatan hari buruh internasional lalu, Ketua BNP2TKI, Jumhur Hidayat mengakui Indonesia memang lambat membangun visi buruh migran, sementara negara lain sudah lama memiliki visi tersebut.
Namun sebenarnya yang diperlukan kaum buruh migran Indonesia di Malaysia bukan hanya sekedar visi. Yang mereka butuhkan adalah ketegasan dari pemerintah untuk melindungi mereka. Bukan hanya secara teori atau diplomasi namun juga dalam hal implementasi. Hendaknya kunjungan Presiden SBY ke Malaysia hari ini bukan hanya kunjungan kenegaraan biasa tapi dijadikan sebuah momen yang tepat bagi seorang bapak negara untuk untuk memperjuangkan dan melindungi nasib 'pahlawan devisa'nya.
Sampai sekarang banyak masalah kedua negara yang belum terselesaikan dan bahkan hanya diendapkan. Misalnya masalah ketenagakerjaan. Sebuah organisasi peduli buruh migran, Migran Care mencatat sepanjang tahun 2007 Malaysia tercatat sebagai negara dengan kasus kematian buruh migran terbanyak asal Indonesia dengan jumlah 71 kematian atau 35 persen dari total 206 kematian buruh migran.
Selain itu Malaysia juga menjadi negara yang mengancam warga negara Indonesia dengan hukuman mati yakni 297 orang dan delapan orang diantaranya sudah dijatuhi vonis di Malaysia.
Menurut data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), jumlah tenaga kerja yang tersangkut perkara di Malaysia mencapai 1.1 juta orang dan perkara yang terdaftar menyangkut 800.000 orang.
Kasus-kasus kekerasan yang dialami tenaga kerja Indonesia (TKI), sebagian masih belum menemukan titik terang dalam proses hukumnya. Seperti kasus Nirmala Bonat, yang sudah dimulai sejak tahun 2004 dan masih belum rampung sampai sekarang.
Selain Nirmala, masih ada sederetan nama lain seperti, Ceriyati, Elena, Sanih Nur Wanih, Yudista Purwaningtyas, Darmilah, Dede Rosliyah, Parwati, Meriana Bulu, Suriani, Lilis Warsak, Kurniasih, Parsiti, YArsi dan Siswati yang dengan berbagai alas an berbeda hingga saat ini kasus-kasus mereka belum juga terselesaikan secara hukum.
Lobi-lobi yang dilakukan pemerintah untuk menangani masalah TKI masih belum optimal. Jika dibandingkan dengan negara lain, dalam masalah perlindungan TKI bisa dibilang kurang berani jika dibandingkan dengan Filipina. Pada kasus Sarah Balabagan di Uni Emirat Arab (UEA) beberapa tahun lalu, presiden Ramos langsung terbang ke Abu Dahabi dan melobi raja UEA.
Sebenarnya pemerintah tidak hanya berpangku tangan dalam masalah TKI ini. Selain melakukan berbagai lobi dan perjanjian, untuk pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) buruh migran Indonesia, pemerintah mendirikan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (BNP2TKI) walaupun ratusan masalah masih terus terjadi.
Pada peringatan hari buruh internasional lalu, Ketua BNP2TKI, Jumhur Hidayat mengakui Indonesia memang lambat membangun visi buruh migran, sementara negara lain sudah lama memiliki visi tersebut.
Namun sebenarnya yang diperlukan kaum buruh migran Indonesia di Malaysia bukan hanya sekedar visi. Yang mereka butuhkan adalah ketegasan dari pemerintah untuk melindungi mereka. Bukan hanya secara teori atau diplomasi namun juga dalam hal implementasi. Hendaknya kunjungan Presiden SBY ke Malaysia hari ini bukan hanya kunjungan kenegaraan biasa tapi dijadikan sebuah momen yang tepat bagi seorang bapak negara untuk untuk memperjuangkan dan melindungi nasib 'pahlawan devisa'nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar