Publik mulai mempertanyakan fungsi kaderisasi kepemimpinan yang lazim dijalankan partai politik (parpol). Pertanyaan muncul setelah melihat minimnya sosok baru yang beredar dalam bursa calon pimpinan nasional.
Hal ini terdeteksi melalui hasil survei nasional yang dilakukan Lembaga Riset Informasi (LRI)-indonesiapolling yang diselenggarakan di 33 provinsi pada tanggal 18-27 Desember 2007.
Selain masih beredarnya nama-nama lama dalam bursa calon presiden pada 2009, sosok Soeharto dan Soekarno melekat kuat dalam memori publik, baik mereka yang mengalami kepemimpinannya maupun yang hanya membaca atau mendengar kisahnya. Publik menilai, kedua pemimpin nasional ini dalam banyak hal mampu menampilkan karakter negarawan yang kuat.
Dibanding para penggantinya, 55% responden memberi nilai baik kepada ketegasan dan kecermatan Soeharto dalam mengambil keputusan. Demikian pula dalam hal kemampuan menjaga harkat dan martabat bangsa serta membangkitkan daya juang rakyat, Soeharto (56%) hanya disaingi Susilo Bambang Yudhoyono (56%) walaupun nilai tertinggi tetap diberikan pada Soekarno (86%). Dalam konteks inilah publik mengkritisi peran parpol dalam melakukan kaderisasi kepemimpinan.
Menurut Presiden Direktur LRI, Johan O. Silalahi, Indonesiapolling bertujuan menggali opini publik, memberi pendidikan politik bagi masyarakat dan menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan. Berbeda dengan lembaga survei yang sudah ada, indonesiapolling memfokuskan surveinya pada lembaga negara, pemerintahan, dan kenegaraan.
Dalam survei nasional dengan sampel 1300 orang ini, responden diminta menilai kinerja partai politik dalam melakukan kaderisasi kepemimpinan dan menjaring aspirasi masyarakat. Hasilnya menunjukkan secara umum masyarakat menilai kinerja partai politik masih buruk. Dalam menjaring aspirasi rakyat, PKB dinilai buruk oleh 61,2% responden, disusul oleh PPP (59,5%), PAN (55,5%), PDIP (48,4%), PKS (47,6%), PD (45,5%) dan Partai Golkar (45,2%).
Hal ini terdeteksi melalui hasil survei nasional yang dilakukan Lembaga Riset Informasi (LRI)-indonesiapolling yang diselenggarakan di 33 provinsi pada tanggal 18-27 Desember 2007.
Selain masih beredarnya nama-nama lama dalam bursa calon presiden pada 2009, sosok Soeharto dan Soekarno melekat kuat dalam memori publik, baik mereka yang mengalami kepemimpinannya maupun yang hanya membaca atau mendengar kisahnya. Publik menilai, kedua pemimpin nasional ini dalam banyak hal mampu menampilkan karakter negarawan yang kuat.
Dibanding para penggantinya, 55% responden memberi nilai baik kepada ketegasan dan kecermatan Soeharto dalam mengambil keputusan. Demikian pula dalam hal kemampuan menjaga harkat dan martabat bangsa serta membangkitkan daya juang rakyat, Soeharto (56%) hanya disaingi Susilo Bambang Yudhoyono (56%) walaupun nilai tertinggi tetap diberikan pada Soekarno (86%). Dalam konteks inilah publik mengkritisi peran parpol dalam melakukan kaderisasi kepemimpinan.
Menurut Presiden Direktur LRI, Johan O. Silalahi, Indonesiapolling bertujuan menggali opini publik, memberi pendidikan politik bagi masyarakat dan menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan. Berbeda dengan lembaga survei yang sudah ada, indonesiapolling memfokuskan surveinya pada lembaga negara, pemerintahan, dan kenegaraan.
Dalam survei nasional dengan sampel 1300 orang ini, responden diminta menilai kinerja partai politik dalam melakukan kaderisasi kepemimpinan dan menjaring aspirasi masyarakat. Hasilnya menunjukkan secara umum masyarakat menilai kinerja partai politik masih buruk. Dalam menjaring aspirasi rakyat, PKB dinilai buruk oleh 61,2% responden, disusul oleh PPP (59,5%), PAN (55,5%), PDIP (48,4%), PKS (47,6%), PD (45,5%) dan Partai Golkar (45,2%).
Sementara itu dalam hal mempersiapkan kader pemimpin nasional, PKB (58,6%) di nilai kurang oleh 58,6% responden, disusul PAN (55,7%), Partai Demokrat (49,6%), PKS (48,6%), PDIP (45,6%), dan Partai Golkar (44,6%).
Penilaian buruk terhadap kinerja parpol ini juga memicu jumlah responden yang menyatakan tidak akan memilih (28,2%) di dalam pemilu. Mereka yang tidak akan memilih ini merata di semua segmen, baik dilihat dari tingkat pengeluaran, usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Kondisi ini mengancam legitimasi pemerintah karena sikap tidak memilih bukan hanya bermakna hukuman publik atas buruknya kinerja parpol tetapi juga bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap pemimpin terpilih. Bentuk lain dari kekecewaan publik ini adalah tingginya angka responden, 84,9%, yang menyatakan perlunya pembatasan jumlah parpol.
Indonesiapolling juga membuktikan bahwa publik menilai kinerja lembaga negara dan pemerintah masih jauh dari harapan. Lebih dari 50% responden menyatakan kurang puas terhadap kinerja lembaga perwakilan. Meski kepuasan terhadap kinerja Presiden kurang dari 50%, mayoritas responden mengaku mudah mendapatkan informasi tentang lembaga kepresidenan. Ini lebih baik dibandingkan lembaga negara lain yang dinilai sulit untuk didapat informasinya. Belum dikenalnya lembaga-lembaga baru yang dibentuk pasca amandemen UUD 1945 (terutama Mahkamah Konstitusi) mengisyaratkan belum efektifnya sosialisasi yang dilakukan selama ini.
Kinerja lembaga negara dan pemerintah yang dinilai publik masih kurang optimal ini tidak bisa lepas dari kinerja parpol mengingat dominannya peran parpol dalam sistem politik Indonesia saat ini.
Kinerja lembaga negara dan pemerintah yang dinilai publik masih kurang optimal ini tidak bisa lepas dari kinerja parpol mengingat dominannya peran parpol dalam sistem politik Indonesia saat ini.
Preferensi Politik
Bila Pemilu digelar minggu ketiga Desember 2007, 15,7% responden mengaku akan memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), disusul Partai Golkar (15,1%), Partai Keadilan Sejahtera (9%) dan Partai Demokrat (7,3%). Naiknya nilai PKS bisa jadi disebabkan karena PKS termasuk partai yang serius dalam melakukan kaderisasi anggotanya. Sementara naiknya angka PD tidak bisa lepas dari figur SBY sebagai ikon PD. Hal ini menegaskan bahwa kehadiran tokoh yang dinisbatkan sebagai ikon partai tetap menjadi faktor fundamental dalam mengatrol popularitas parpol.
Raport Kinerja Departemen
Departemen Komunikasi dan Informatika dinilai berkinerja baik oleh 47% responden, disusul Departemen Pendidikan Nasional (46%), Departemen Kesehatan (45%), dan Departemen Agama (42%). Meski kurang memuaskan, departemen tadi dinilai mampu membangkitkan harapan lewat program yang ditawarkan dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat.
Adapun departemen yang memperoleh nilai buruk, dalam artian dinilai baik oleh kurang dari 30% responden adalah Departemen Kehutanan (23%), Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi (24%), Departemen Perhubungan (28%) dan Departemen Pekerjaan Umum (29%). Penilaian ini dipicu oleh masalah-masalah nyata yang dialami mayoritas responden, seperti kerusakan hutan yang berakibat banjir, melonjaknya angka pengangguran, masih semrawutnya pengaturan transportasi, dan minimnya fasilitas umum yang memperburuk kenyamanan hidup warga.
Responden juga diminta untuk memberikan penilaian terhadap kinerja lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK dan Presiden berdasarkan tugas yang diamanatkan Undang-undang Dasar kepada mereka. Secara umum publik menilai kinerja mereka belum memuaskan, terbukti dengan penilaian ”Baik” hanya berkisar antara 30-40% untuk tiap-tiap lembaga negara tersebut. Menurut Johan O. Silalahi, penilaian masyarakat ini adalah cerminan realitas sosial yang ada. (LRI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar